Thursday, 22 November 2018

Makalah Manusia, Nilai, Moral dan Hukum || Ilmu Sosial Budaya Dasar ||


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan kepribadian individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek.

B.      Rumusan Masalah
1.        Apa yang dimaksud dengan manusia, nilai, moral dan hukum?
2.        Bagaimana hakikat nilai moral dalam kehidupan manusia?
3.        Bagaimana problematika pembinaan nilai moral?

4.        Bagaimana hubungan manusia dan hukum?
5.        Bagaimana hubungan hukum dan moral?

C.      Tujuan
1.         Menjelaskan apa yang dimaksud dengan manusia, nilai, moral, dan hukum;
2.         Menjelaskan tentang bagaimana hakikat nilai moral dalam kehidupan manusia;
3.         Menjelaskan tentang bagaimana problematika pembinaan nilai moral;
4.         Menjelaskan tentang bagaimana hubungan manusia dan hukum;
5.         Menjelaskan tentang bagaimana hubungan hukum dan moral.

D.      Manfaat
Manfaat dari makalah ini diantaranya yaitu dapat menambah pengetahuan serta pemahaman kita mengenai pentingnya hubungan antara manusia, nilai, moral, dan hukum dalam kehidupan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Manusia, Nilai, Moral dan Hukum
1.         Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2.         Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Berikut beberapa definisi nilai menurut para ahli:
a.         Menurut Cheng (dalam Setiadi, dkk. 2006:126), nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki.
b.        Menurut Dictionary of Sociology and Related Science (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai adalah kemampuan yang diyakini, terdapat pada suatu objek untuk memuaskan hasrat manusia, yaitu kualitas objek yang menyebabkan tertariknya individu atau kelompok.
c.         Menurut Frankena (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai dalam filsafat dipakai untuk menunjukan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
d.        Menurut Lasyo (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatan.
e.         Menurut Athur W. Comb (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang digeneralisasi yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta prilaku yang akan dipilih untuk dicapai.
f.          Menurut Dardji darmodihardjo (dalam Setiadi, dkk. 2006:128), nilai adalah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.
g.        Menurut encyclopedia Britainica (dalam Setiadi, dkk. 2006:128), nilai ialah kualitas objek yang menyangkut jenis apresiasi atau minat.

3.         Moral
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.

4.         Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.

B.      Hakikat Nilai Moral dalam Kehidupan Manusia
1.         Nilai dan Moral sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.
Menurut Bartens (dalam Setiadi, dkk. 2006:115) ada tiga jenis makna etika, yaitu:
a.         Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
b.        Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
c.         Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
2.         Nilai Moral diantara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adnaya manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya. Persoalannya bukan bagaimana seseorang harus menemukan nilai yang telah ada tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai bagi pandangan objektivis tidak tergantung pada objek, melainkan objeklah sebagai penyangga perlu hadir dan menampakkan nilai tersebut. Namun meski tanpa hadirnya objek, nilai memang telah ada dengan sendirinya.
Pandangan kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Jadi, nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh karena itu nilai melekat dengn subjek penilai. Nilai dalam pengertian ini bukan di luar si penilai tetapi inheren dengan subjek yang menilai. Nilai dalam objek bukan penting atau tidak penting pada objek sejatinya, melainkan tergantung si penilai memberikan persepsi terhadap objek tersebut. Sebagai contoh, dengan demikian lukisan itu indah bukan karena lukisannya memang indah, akan tetapi karena si penilai menyukai dan memandang indah lukisan tersebut.

3.         Nilai diantara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Setiap benda, zat dan apapun yang ada di alam raya ini , termasuk manusia memiliki kualitas. Kualitas adalah sebuah sifat, kualitas menentukan tinggi rendahnya derajat sesuatu, kualitas pun menentukan berharga tidaknya suatu objek. Kualitas melekat dan hadir serta terlihat karena adanya objek yang ditempati sifat atau kualitas tersebut. Kualitas memang ada, tetapi adanya membutuhkan penopang yaitu objek yang ditempati kualitas. Kualitas tidak akan tampak tanpa hadirnya suatu objek., namun meski tanpa hadirnya objek diyakini bahwa kualitas itu ada.
Menurut Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:118) kualitas dibagi menjadi dua, yaitu kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Menurut Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:119) menyatakan lebih lanjut, “nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Bahkan menurut Husserl (dalam Setiadi, dkk. 2006:119)], “Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.

4.         Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia menilai. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan. Nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
a.         Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan;
b.        Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nicholas Rescher  (dalam Setiadi, dkk. 2006:121-122) menyatakan adanya enam klasifikasi nilai yang didasarkan atas:
a.         Pengakuan, yaitu pengakuan subjek tentang nilai yang harus dimiliki seseorang atau suatu kelompok, misalnya nilai profesi, nilai kesukuan, dan nilai kebangsaan;
b.        Objek yang dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada sifat tertentu objek yang dinilai, seperti manusia dinilai dari kecerdasannya, bangsa dinilai dari keadilan hukumnya;
c.         Keuntungan yang diperoleh, yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan. Contohnya kategori nilai ekonomi, keuangan yang diperoleh berupa prooduksi; kategori nilai moral, maka keuntungan yang diperoleh berupa kejujuran;
d.        Tujuan yang akan dicapai, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan yang dinilai. Contohnya nilai akreditasi pendidiakan;
e.         Hubungan antara pengemban nilai dengan keuntungan:
1)        Nilai dengan orientasi pada diri sendiri (nilai egosentris) yaitu dapat memperoleh keberhasilan dan ketentraman;
2)        Nilai dengan orientasi pada orang lain, yaitu orientasi kelompok:
a)         Nilai yang berorientasi pada keluarga, hasilnya kebanggaan keluarga;
b)        Nilai yang berorientasi pada profesi, hasilnya nama baik profesi;
c)         Nilai yang berorientasi pada bangsa, hasilnya nilai patriotism;
d)        Nilai yang berorientasi pada masyarakat, hasilnya keadilan sosial;
e)         Nilai yang berorientasi pada kemanusiaan, yaitu nilai universal.
f.          Hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik, dimana nilai tertentu secara hierarkis lebih kecil dari nilai lalinnya.
Dalam hierarki nilai sangat tergantung dari sudut pandang dan nilai yang menjadi patokan dasar si penilai. Nilai tentu saja dipandang penting oleh setiap orang, namun tingkat kepentingan nilai tersebut tidaklah sama, itulah sebabnya nilai memiliki tingkatan, dalam pengertian dan hierartkinya.
Menurut Max Scheller (dalam Setiadi, dkk. 2006:122-123) menyebutkan hierarki tersebut terdiri atas:
a.         Nilai kenikmatan, yaitunilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, yang berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan mausia senang atau menderita;
b.        Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan;
c.         Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung baik pada keadaan jasmani maupun lingkungan;
d.        Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.

Menurut Kaelan (dalam Setiadi, dkk. 2006:123-124), di Indonesia (khususnya pada decade penataran P4) hierarki nilai dibagi tiga, yaitu:
a.         Nilai dasar (dasar ontologis) yaitu merupakan hakikat, esensi, inti sari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karenga menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan, manusia, atau segala sesuatu lainnya;
b.        Nilai instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Bilamana nilai instrumental it berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka hal itu akan merupakan suatu moral. Jika nilai int=strumental itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat dikatakan nilai instrumental merupakan suatu eksplisitas dari nilai dasar;
c.         Nilai praksi, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan nyata. Sehingga nilai praksi ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental. Nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem dalam perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem itu.

5.         Makna Nilai Bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga dia akan menempatkan dirinya secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lalin dalam pergaulan masyarakat. Yang penting dlam upaya pendidikan, keyakinan individu pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang diungkapkan oleh sheller (dalam Setiadi, dkk. 2006:132), yaitu sebagai berikut:
a.         Nilai tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam;
b.        Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kenikmatan merupakan hasil dari kepuasan);
c.         Semakin kurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tinggi dari semua nilai adalah mutlak. Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:133)


C.      Problematika Pembinaan Nilai Moral
1.         Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat, terpengaruh oleh tuntutan kemajuan yang terjadi, namun masih banyak orang yang meyakini bahwa nilai moral itu hidup dan dibangun dalam lingkungan keluarga. Setiap hari, dalam keluarga terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, meskipun tidak sampai masuk kategori menakutkan. Menurut Louis Rath (dalam Setiadi, dkk. 2006:133) “berdasarkan data terbaru, dua dari lima ibu bekerja di luar rumah, estimasi terakhir menyebutkan bahwa dua dari lima ibu merupakan keluarga yang broken home (dalam konteks ini dimaksudkan salah satu diantara orang tua tersebut meninggal, bercerai, pisah atau salah satu diantara mereka dipenjara)”. Sering kali pada keluarga yang broken home atau kepada keluarga yang kedua orang tuanya berkerja beakibat pana penurunan intensitas hubungan antara anak dengan orang tua. Dalam lingkungan yang kurang baik dan kadang menegangkan ini seorang anak sangat sulit untuk membangun nilai-nilainya secara jelas.
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi anak. Dalam situasi seperti inilah institusi pendidikan perlu memfasilitasi peserta didik untuk melakukan klarifikasi nilai.

2.         Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk. Pertemanan yang paling berpengaruh timbul dari teman sebaya, karena diantara mereka relative lebih terbuka, dan intensitas pergaulannya relative sering, baik di sekolah/kampus maupun dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan hasil peneitian Abbas Asyyafah (dalam Setiadi, dkk. 2006:136) “kebiasaan merokok lebih banyak disebabkan karena pengaruh teman sebaya”. Buka sesuatu yang mustahil bila upaya mencoba prilaku buruk lain disebabkan pula karena pengaruh teman sebaya.
Kelompok sebaya tentu mempunyai aturan main sendiri, dan anak cenderung akan menyesuaikan dengan aturan main tersebut dengan harapan agar diterima oleh kelompoknya. Perbedaan sudut pandang antara keluarga dengan temannya menjadi masalah tersendiri bagi niai anak-anak. Anak dihadapkan pada keharusan untuk mematuhi aturan keluraga dan resiko dikeluarkannya dari pertemanan. Bagi anak situasi ini menjadi dilematis. Persoalan nilai mana yang akan menjadi keyakinan individu tentu diperlakukan adanya upaya pendidikan untuk membimbing mereka keluar dari kebingungan nilai serta menemukan nilai hakiki yang harus menjadi pegangan.

3.         Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Jika anak itu menolak, maka diparstikan anak itu digolongkan tidak taat, kurang ajar, atau pembangkang. Dengan kata lain orang dewasa hanya menambahkan berbagai arahan nilai atau norma yang sudah ada pada anak-anak, baik yang didapatkannya dari sekolah, tokoh politik, guru nagji, buku bacaan, radio, televisi, majalah, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral.
4.         Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pada akhir abad ke-20, alat-alat komunikasi yang potensial telah diperkenalkan ke dalam ritual kehidupan keluarga. Pertama kali telepon, lalu radio, dan setelah Perang Dunia II muncul televisi. Mereka yang menangani program mulai mengembangkan sesuatu yang dianggapnya dapat menarik dan menyenangkan anak-anak.
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun media-media tersebut menyuguhkan berbagai pandangan hidup yang sangat variatif pada anak. Hasilnya sangat dramatis, baik dari radio, film, televisi, VCD, majalah maupun yang lainnya, anak-anak jadi terbiasa melihat dan menyimak pandangan hidup yang bervariasi, bahkan banyak diantara pandangan dan nilai kehidupan tersebut dalam kehidupan keluarga tidak akan mereka temui.
Bila anak dihapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan kehilangan gagasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa konstribusi terbesar media-media tadi akan membiasakan pemahaman yang tengah tumbuh pada anak-anak seputar mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bagus dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang timpag, serta mana yang bermoral dan tidak bermoral. Tatkala anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.

5.         Pengaruh Otak atau Berfikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Berfikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana dalam pengertian stimulus respon, dan juga tidak menyimpan fakta secara sederhana sebagai referensi masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga (dalam Setiadi, dkk. 2006:142), maka “Otak kita adalah suatu organ yang snagat mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan makna. Dalam keadaan terjaga maupun tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) dan pengalaman batin (inner)”. Atas dasar itu semua orang adalah pencari dan pencipta makna. Makna-makna yang kita ciptakan menentukan bagaimana cara kita berprilaku.
Dengan demikian, pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.

6.         Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap hari manusia mendapatkan informasi, informasi ini berpengaruh terhadap sistem keyakinan yang dimiliki oleh individu, baik informasi itu diterima secara keseluruhan, diterima sebagian atau ditolak semuanya, namun bagaimanapun informasi itu ditolak akan menguatkan keyakinan yang telah ada pada individu tersebut. Apabila informasi batu tersebut telah diterima individu serta mengubah atau menguatkan keyakinanya, maka akan terbentuklah sikap. Kama (dalam Setiadi, dkk. 2006:144) mengatakan “sikap adalah serangkaian keyakinan yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi tertentu”. Serangkaian sikap inilah yang akan mendorong munculnya pertimbangan yang harus dibuat sehingga menghasilkan standar atau prinsip yang bisa dijadikan alat ukur sebuah tindakan. Prinsip dan dasar itulah yang disebut dengan nilai.
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.

D.      Manusia dan Hukum
Hokum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hokum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga dimana ada masyarakat di sana adalah tepat.
Dalam kaitannya dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban.mochtar Kusumaatmadja (dalam Setiadi, dkk. 2006:146) mengatakan “Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi masyarakat dalam segala bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, maka diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi oleh masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antara kaidah hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau tidak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dengan demikian, hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
E.      Hubungan Hukum dan Moral
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “apa artinya undang-undang kalau tidak disertai dengan moralitas? Dengan demikian, hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dengan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dewasa ini aplagi dalam konteks pengambilan keputusan hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan hukum. Apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni kehidupan.

B.      Saran
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.



DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M. dkk. 2006. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Hasyim, Intan Purnama. 2013. Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum. [Online]. [http://m-isbd.blogspot.co.id/2013/08/manusia-nilai-moral-dan-hukum_19.htm]. [Diakses 10 Mei 2017]

Meidianto, Achmad Dodi. 2013. Makalah ISBD Manusia, Nilai, Moral Dan Hukum. [Online]. [https://www.scribd.com/doc/211646842/Makalah-ISBD-Manusia-Nilai-Moral-Dan-Hukum]. [Diakses 12 Mei 2017]

Artikel Terkait

Makalah Manusia, Nilai, Moral dan Hukum || Ilmu Sosial Budaya Dasar ||
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email