BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan. Masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan
dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan,
menjilat, dan perbuatan negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan
agama dan moral karena dengan adanya panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam
diri manusia akan sangat menentukan kepribadian individu atau jati diri
manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai yang
mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi
sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi
dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga
lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga
dalam pendidikan mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi,
panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan
sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang juga perlu
diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman
nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan manusia, nilai, moral dan hukum?
2.
Bagaimana hakikat nilai moral dalam kehidupan manusia?
3.
Bagaimana problematika pembinaan nilai moral?
4.
Bagaimana hubungan manusia dan hukum?
5.
Bagaimana hubungan hukum dan moral?
C. Tujuan
1.
Menjelaskan
apa yang dimaksud dengan manusia, nilai, moral, dan hukum;
2.
Menjelaskan
tentang bagaimana hakikat nilai moral dalam kehidupan manusia;
3.
Menjelaskan
tentang bagaimana problematika pembinaan nilai moral;
4.
Menjelaskan
tentang bagaimana hubungan manusia dan hukum;
5.
Menjelaskan
tentang bagaimana hubungan hukum dan moral.
D.
Manfaat
Manfaat dari makalah ini diantaranya yaitu dapat menambah pengetahuan serta
pemahaman kita mengenai pentingnya hubungan antara manusia, nilai, moral, dan hukum
dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manusia, Nilai, Moral dan
Hukum
1.
Manusia
Secara
bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah
fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang
individu. Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
2.
Nilai
Nilai dapat
diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai
landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak. Berikut
beberapa definisi nilai menurut para ahli:
a.
Menurut
Cheng (dalam Setiadi, dkk. 2006:126), nilai merupakan sesuatu yang potensial,
dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi
untuk menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat
yang seharusnya dimiliki.
b.
Menurut Dictionary of Sociology and Related Science (dalam
Setiadi, dkk. 2006:127), nilai adalah kemampuan yang diyakini, terdapat pada
suatu objek untuk memuaskan hasrat manusia, yaitu kualitas objek yang
menyebabkan tertariknya individu atau kelompok.
c.
Menurut
Frankena (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai dalam filsafat dipakai untuk
menunjukan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan dan kata
kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau
melakukan penilaian.
d.
Menurut
Lasyo (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai bagi manusia merupakan landasan
atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatan.
e.
Menurut
Athur W. Comb (dalam Setiadi, dkk. 2006:127), nilai adalah
kepercayaan-kepercayaan yang digeneralisasi yang berfungsi sebagai garis
pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta prilaku yang akan dipilih untuk
dicapai.
f.
Menurut
Dardji darmodihardjo (dalam Setiadi, dkk. 2006:128), nilai adalah yang berguna
bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.
g.
Menurut encyclopedia Britainica (dalam Setiadi,
dkk. 2006:128), nilai ialah kualitas objek yang menyangkut jenis apresiasi atau
minat.
3.
Moral
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi
dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa
yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik,
begitu juga sebaliknya. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat
abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan
sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.
4.
Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum
pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih.
B.
Hakikat Nilai Moral dalam
Kehidupan Manusia
1.
Nilai dan Moral sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya
dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi
(filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika.
Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika
berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan
dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan
layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah
ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut
sebagaimana mestinya.
Menurut Bartens (dalam Setiadi, dkk.
2006:115) ada tiga jenis makna etika, yaitu:
a.
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
b.
Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral
(kode etik).
c.
Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang
buruk (filsafat moral).
2.
Nilai Moral diantara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika
maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai
dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif,
apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adnaya manusia sebagai penilai.
Baik dan buruk, benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan
penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia
dalam kehidupannya. Persoalannya bukan bagaimana seseorang harus menemukan
nilai yang telah ada tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai bagi pandangan
objektivis tidak tergantung pada objek, melainkan objeklah sebagai penyangga
perlu hadir dan menampakkan nilai tersebut. Namun meski tanpa hadirnya objek,
nilai memang telah ada dengan sendirinya.
Pandangan
kedua,
memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung
pada subjek yang menilainya. Jadi,
nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh
karena itu nilai melekat dengn subjek penilai. Nilai dalam pengertian ini bukan
di luar si penilai tetapi inheren dengan subjek yang menilai. Nilai dalam objek
bukan penting atau tidak penting pada objek sejatinya, melainkan tergantung si
penilai memberikan persepsi terhadap objek tersebut. Sebagai contoh, dengan
demikian lukisan itu indah bukan karena lukisannya memang indah, akan tetapi
karena si penilai menyukai dan memandang indah lukisan tersebut.
3.
Nilai diantara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Setiap
benda, zat dan apapun yang ada di alam raya ini , termasuk manusia memiliki
kualitas. Kualitas adalah sebuah sifat, kualitas menentukan tinggi rendahnya
derajat sesuatu, kualitas pun menentukan berharga tidaknya suatu objek.
Kualitas melekat dan hadir serta terlihat karena adanya objek yang ditempati
sifat atau kualitas tersebut. Kualitas memang ada, tetapi adanya membutuhkan
penopang yaitu objek yang ditempati kualitas. Kualitas tidak akan tampak tanpa
hadirnya suatu objek., namun meski tanpa hadirnya objek diyakini bahwa kualitas
itu ada.
Menurut
Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:118) kualitas dibagi menjadi dua, yaitu
kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya
objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada
sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas
yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya,
jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai
lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada
keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan
tidak bisa ditawar lagi,
sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Menurut Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:119) menyatakan lebih lanjut, “nilai bukan kualitas
primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda,
melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu
yang dikatakan “baik”. Bahkan
menurut Husserl (dalam Setiadi, dkk. 2006:119)], “Nilai milik semua objek, nilai tidaklah
independen yakni tidak memiliki kesubstantifan”.
4.
Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Nilai berhubungan erat dengan
kegiatan manusia menilai. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah
keputusan. Nilai
memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
a.
Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek
negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan;
b.
Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan
pentingnya.
Nicholas
Rescher (dalam Setiadi, dkk.
2006:121-122) menyatakan adanya enam klasifikasi nilai yang didasarkan atas:
a.
Pengakuan,
yaitu pengakuan subjek tentang nilai yang harus dimiliki seseorang atau suatu
kelompok, misalnya nilai profesi, nilai kesukuan, dan nilai kebangsaan;
b.
Objek yang
dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada
sifat tertentu objek yang dinilai, seperti manusia dinilai dari kecerdasannya,
bangsa dinilai dari keadilan hukumnya;
c.
Keuntungan
yang diperoleh, yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat
seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan. Contohnya kategori nilai ekonomi,
keuangan yang diperoleh berupa prooduksi; kategori nilai moral, maka keuntungan
yang diperoleh berupa kejujuran;
d.
Tujuan yang
akan dicapai, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan
yang dinilai. Contohnya nilai akreditasi pendidiakan;
e.
Hubungan
antara pengemban nilai dengan keuntungan:
1)
Nilai dengan
orientasi pada diri sendiri (nilai egosentris) yaitu dapat memperoleh
keberhasilan dan ketentraman;
2)
Nilai dengan
orientasi pada orang lain, yaitu orientasi kelompok:
a)
Nilai yang
berorientasi pada keluarga, hasilnya kebanggaan keluarga;
b)
Nilai yang berorientasi
pada profesi, hasilnya nama baik profesi;
c)
Nilai yang
berorientasi pada bangsa, hasilnya nilai patriotism;
d)
Nilai yang
berorientasi pada masyarakat, hasilnya keadilan sosial;
e)
Nilai yang
berorientasi pada kemanusiaan, yaitu nilai universal.
f.
Hubungan
yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik, dimana nilai
tertentu secara hierarkis lebih kecil dari nilai lalinnya.
Dalam hierarki nilai sangat tergantung dari sudut pandang dan nilai yang
menjadi patokan dasar si penilai. Nilai tentu saja dipandang penting oleh
setiap orang, namun tingkat kepentingan nilai tersebut tidaklah sama, itulah
sebabnya nilai memiliki tingkatan, dalam pengertian dan hierartkinya.
Menurut Max Scheller (dalam Setiadi, dkk. 2006:122-123) menyebutkan hierarki
tersebut terdiri atas:
a.
Nilai
kenikmatan, yaitunilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, yang berkaitan
dengan indra manusia yang menyebabkan mausia senang atau menderita;
b.
Nilai
kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan;
c.
Nilai kejiwaan,
yaitu nilai yang tidak tergantung baik pada keadaan jasmani maupun lingkungan;
d.
Nilai
kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.
Menurut
Kaelan (dalam Setiadi, dkk. 2006:123-124), di Indonesia (khususnya pada decade
penataran P4) hierarki nilai dibagi tiga, yaitu:
a.
Nilai dasar
(dasar ontologis) yaitu merupakan hakikat, esensi, inti sari atau makna yang
terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karenga
menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan,
manusia, atau segala sesuatu lainnya;
b.
Nilai
instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Bilamana
nilai instrumental it berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari, maka hal itu akan merupakan suatu moral. Jika nilai int=strumental
itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun negara, maka nilai instrumental
itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada
nilai dasar. Sehingga dapat dikatakan nilai instrumental merupakan suatu
eksplisitas dari nilai dasar;
c.
Nilai
praksi, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan nyata. Sehingga nilai praksi ini merupakan
perwujudan dari nilai instrumental. Nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praksis itu merupakan suatu sistem dalam perwujudannya tidak boleh menyimpang
dari sistem itu.
5.
Makna Nilai Bagi Manusia
Nilai itu
penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena
dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di
luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai
kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu
dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga
dia akan menempatkan dirinya secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan
mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lalin dalam
pergaulan masyarakat. Yang penting dlam upaya pendidikan, keyakinan individu
pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang
diungkapkan oleh sheller (dalam Setiadi, dkk. 2006:132), yaitu sebagai berikut:
a.
Nilai tertinggi
menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam;
b.
Kepuasan
jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kenikmatan merupakan hasil dari
kepuasan);
c.
Semakin
kurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tinggi dari semua
nilai adalah mutlak. Frondizi (dalam Setiadi, dkk. 2006:133)
C.
Problematika Pembinaan Nilai
Moral
1.
Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat, terpengaruh oleh tuntutan kemajuan
yang terjadi, namun masih banyak orang yang meyakini bahwa nilai moral itu
hidup dan dibangun dalam lingkungan keluarga. Setiap hari, dalam keluarga
terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, meskipun tidak sampai masuk kategori
menakutkan. Menurut Louis Rath (dalam Setiadi, dkk. 2006:133) “berdasarkan data
terbaru, dua dari lima ibu bekerja di luar rumah, estimasi terakhir menyebutkan
bahwa dua dari lima ibu merupakan keluarga yang broken home (dalam konteks ini dimaksudkan salah satu diantara
orang tua tersebut meninggal, bercerai, pisah atau salah satu diantara mereka
dipenjara)”. Sering kali pada keluarga yang broken
home atau kepada keluarga yang kedua orang tuanya berkerja beakibat pana
penurunan intensitas hubungan antara anak dengan orang tua. Dalam lingkungan
yang kurang baik dan kadang menegangkan ini seorang anak sangat sulit untuk
membangun nilai-nilainya secara jelas.
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya
komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya
fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi
menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya
menambah kebingungan nilai bagi anak. Dalam
situasi seperti inilah institusi pendidikan perlu memfasilitasi peserta didik
untuk melakukan klarifikasi nilai.
2.
Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang
yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh
pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif
juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan
memang buruk. Pertemanan yang paling
berpengaruh timbul dari teman sebaya, karena diantara mereka relative lebih
terbuka, dan intensitas pergaulannya relative sering, baik di sekolah/kampus
maupun dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan hasil peneitian Abbas Asyyafah
(dalam Setiadi, dkk. 2006:136) “kebiasaan merokok lebih banyak disebabkan
karena pengaruh teman sebaya”. Buka sesuatu yang mustahil bila upaya mencoba
prilaku buruk lain disebabkan pula karena pengaruh teman sebaya.
Kelompok sebaya tentu mempunyai aturan main sendiri, dan anak cenderung
akan menyesuaikan dengan aturan main tersebut dengan harapan agar diterima oleh
kelompoknya. Perbedaan sudut pandang antara keluarga dengan temannya menjadi
masalah tersendiri bagi niai anak-anak. Anak dihadapkan pada keharusan untuk
mematuhi aturan keluraga dan resiko dikeluarkannya dari pertemanan. Bagi anak
situasi ini menjadi dilematis. Persoalan nilai mana yang akan menjadi keyakinan
individu tentu diperlakukan adanya upaya pendidikan untuk membimbing mereka
keluar dari kebingungan nilai serta menemukan nilai hakiki yang harus menjadi
pegangan.
3.
Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa
mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak
adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka
lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan,
seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Jika anak itu menolak, maka diparstikan anak itu digolongkan tidak taat,
kurang ajar, atau pembangkang. Dengan kata lain orang dewasa hanya menambahkan
berbagai arahan nilai atau norma yang sudah ada pada anak-anak, baik yang
didapatkannya dari sekolah, tokoh politik, guru nagji, buku bacaan, radio,
televisi, majalah, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya seorang figur
otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam
perkembangan nilai moral.
4.
Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pada akhir abad ke-20, alat-alat komunikasi yang potensial telah
diperkenalkan ke dalam ritual kehidupan keluarga. Pertama kali telepon, lalu
radio, dan setelah Perang Dunia II muncul televisi. Mereka yang menangani
program mulai mengembangkan sesuatu yang dianggapnya dapat menarik dan
menyenangkan anak-anak.
Setiap orang
berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu
dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup
yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun media-media tersebut menyuguhkan berbagai pandangan hidup yang
sangat variatif pada anak. Hasilnya sangat dramatis, baik dari radio, film,
televisi, VCD, majalah maupun yang lainnya, anak-anak jadi terbiasa melihat dan
menyimak pandangan hidup yang bervariasi, bahkan banyak diantara pandangan dan
nilai kehidupan tersebut dalam kehidupan keluarga tidak akan mereka temui.
Bila anak dihapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan kehilangan
gagasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa konstribusi
terbesar media-media tadi akan membiasakan pemahaman yang tengah tumbuh pada
anak-anak seputar mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana
yang palsu, mana yang bagus dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang
timpag, serta mana yang bermoral dan tidak bermoral. Tatkala anak dipenuhi oleh
kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar
bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
5.
Pengaruh Otak atau Berfikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Berfikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana
dalam pengertian stimulus respon, dan juga tidak menyimpan fakta secara
sederhana sebagai referensi masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga
(dalam Setiadi, dkk. 2006:142), maka “Otak kita adalah suatu organ yang snagat
mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan makna. Dalam keadaan terjaga maupun
tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) dan pengalaman batin (inner)”. Atas dasar itu semua orang
adalah pencari dan pencipta makna. Makna-makna yang kita ciptakan menentukan
bagaimana cara kita berprilaku.
Dengan demikian, pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan
pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk
mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan
antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan
lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
6.
Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap hari manusia mendapatkan informasi, informasi ini berpengaruh
terhadap sistem keyakinan yang dimiliki oleh individu, baik informasi itu
diterima secara keseluruhan, diterima sebagian atau ditolak semuanya, namun
bagaimanapun informasi itu ditolak akan menguatkan keyakinan yang telah ada
pada individu tersebut. Apabila informasi batu tersebut telah diterima individu
serta mengubah atau menguatkan keyakinanya, maka akan terbentuklah sikap. Kama
(dalam Setiadi, dkk. 2006:144) mengatakan “sikap adalah serangkaian keyakinan
yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi tertentu”. Serangkaian
sikap inilah yang akan mendorong munculnya pertimbangan yang harus dibuat
sehingga menghasilkan standar atau prinsip yang bisa dijadikan alat ukur sebuah
tindakan. Prinsip dan dasar itulah yang disebut dengan nilai.
Munculnya
berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan
mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan
teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi
konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai
bagi individu tersebut.
D.
Manusia dan Hukum
Hokum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak
mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka
manusia, masyarakat, dan hokum merupakan pengertian yang tidak dapat
dipisahkan, sehingga dimana ada masyarakat di sana adalah tepat.
Dalam kaitannya dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi
untuk ketertiban.mochtar Kusumaatmadja (dalam Setiadi, dkk. 2006:146)
mengatakan “Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum,
kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama
hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi masyarakat dalam segala
bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, maka diperlukan
adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi oleh masyarakat, seperti kaidah
agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah moral. Kaidah hukum
sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain
tersebut, bahkan antara kaidah hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang
satu memperkuat yang lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai
atau tidak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dengan demikian, hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
E.
Hubungan Hukum dan Moral
Antara hukum dan moral
terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “apa
artinya undang-undang kalau tidak disertai dengan moralitas? Dengan demikian,
hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa
moralitas.
Meskipun hubungan hukum dan moral
begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda sebab dalam kenyataannya
mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak
cocokan antara hukum dengan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan
Indonesia dewasa ini aplagi dalam konteks pengambilan keputusan hukum
membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan hukum. Apa artinya hukum jika
tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh
moralitas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan
saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan
melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan
dan harmoni kehidupan.
B.
Saran
Penegakan
hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi
manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat
diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum
jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya
dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga
negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M. dkk. 2006. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Hasyim,
Intan Purnama. 2013. Manusia, Nilai,
Moral, dan Hukum. [Online]. [http://m-isbd.blogspot.co.id/2013/08/manusia-nilai-moral-dan-hukum_19.htm]. [Diakses 10 Mei 2017]
Meidianto, Achmad Dodi. 2013. Makalah ISBD Manusia, Nilai, Moral Dan Hukum. [Online]. [https://www.scribd.com/doc/211646842/Makalah-ISBD-Manusia-Nilai-Moral-Dan-Hukum]. [Diakses 12 Mei 2017]
Makalah Manusia, Nilai, Moral dan Hukum || Ilmu Sosial Budaya Dasar ||
4/
5
Oleh
Tehansya dulesta